Saya dan Fajar mengetahui bahwa saya hamil ketika umur kehamilan saya sudah 4 bulan. Saya begitu tidak perhatian dengan kondisi tubuh saya sampai-sampai bingung menghitung absennya si tamu bulanan dan malah mengira sesuatu yang patologis telah terjadi. Waktu si dokter genekologi itu bilang, "ya ampun itu mah tanda-tanda hamil bukan sakit, mbak!" Saya tidak yakin sampai terlihat di layar USG jantung kecil yang berdegup-degup. Serta merta saya dan Fajar jatuh cinta untuk kesekian kalinya dan kali ini melibatkan si kecil.
Lalu kami berdua berdiskusi tentang langkas selanjutnya. Menikah setelah atau sebelum kelahiran. Ya, kami waktu itu belum resmi menikah. Buat saya pribadi, persetan dengan institusi formal. Tapi kali ini urusannya berbeda. Kami menimbang baik buruknya. Jangan pikir kami memperhitungkan apa kata si A dan si B, apalagi si C. Yang kami pertimbangkan adalah baik - buruk bagi anak kami dan masa depannya. Pertimbangan logis mengatakan pernikahan akan melindungi dia di mata hukum dan penting bagi kami agar dia tidak cacat di mata hukum. Jadi kami menikah.
Pernikahan kami sudah 4 tahun yang lalu dan kami kini sudah memiliki 3 anak. Soal berkeluarga, kami salah satu yang beruntung. Walau bukan tanpa cobaan. Kedua belah pihak keluarga kami akur dan sangat mendukung. Saya dan suami juga begitu. Intinya kami berbahagia.
Kadang saya ditanya apa resepnya. Saya balik bertanya, "bagaimana cara kamu dan pasangan bertengkar?" Yang ditanya balik biasanya menjawab dengan segala macam metode bertengkar. Namun jarang sekali yang menjawab dengan mencirikan bagaimana saya dan Fajar melakukannya. Saya dan Fajar bertengkar dengan cara berdiskusi. Mendiskusikan perbedaan pendapat kami sambil makan di cafe dan menyusun strategi mengatasi permasalahan. Tidak ada piring di banting, suara meninggi apalagi kekerasan. Kami sangat saling menghargai satu sama lain untuk melakukan kekerdilan macam itu. Dan saat kami begitu berbeda hingga tak mampu berbicara, kami tidak memaksakan pembicaraan itu terjadi sampai kami siap.
Begitulah seharusnya sebuah pernikahan bagi saya. Hidup membangun masa depan dengan orang yang kita cintai dengan mengatasi perbedaan. Untuk itu tidak diperlukan pengesahan dari setan gombal atau malaikat manapun. Hanya diperlukan kematangan, kedewasaan, akal sehat.
Saya kasihan melihat seorang teman di kantor yang banting tulang pergi ke segala penjuru tempat mencari cara agar dia bisa hamil padahal tidak ada masalah dengan kesuburan mereka berdua. Alasannya karena dia sudah menikah sekian tahun dan akan semakin memalukan kalau belum punya anak sampai sekarang. Jadi dia menikah untuk punya anak? Buat saya itu terdengar sempit sekali. Dia tanya bagaimana saya bisa punya anak 3 orang dalam jarak beruntun macam gerbong kereta. Saya bilang, karena saya melakukan hubungan seksual dengan suami saya. Saya sarankan sama dia untuk melupakan segala metode aneh-aneh yang dia cari dan segera membangun hubungan emosional yang baik dengan sang suami, lalu habiskan waktu berduaan dengan mesra dan penuh keinginan untuk saling memberi dan membahagiakan. Kan seperti saya baca celoteh para seksiolog bahw sex yang baik adalah sex yang merelaksasi, yang memberi kepuasan bagi kedua belah pihak baik jasmani maupun rohani. Saya rasa itu bukan omong kosong.
Sungguh saya tidak menentang pernikahan, karena saya toh adalah wanita menikah. Apalagi soal anak. Saya sejak dulu menginginkan anak-anak dalam kehidupan saya. Yang saya ingin gugah adalah konsep kita dalam membangun keluarga. Kebahagiaan keluarga kita tidak terletak di sebuah kertas terbitan institusi manapun. Tidak juga dari pandangan kaum, sekte, partai, si anu dan si itu yang sibuk berceloteh menilai dan mengatur dari luar sana. Saya percaya bahwa kebahagian teraih saat kita berhenti berbohong pada diri kita sendiri. Pegang teguh prinsip kita dan perjuangkan dengan damai. Damai bukan artinya terus-terusan mengalah kok.
Dan saat pernikahan anda diisi oleh anda dan pasangan seorang, bukan berarti anda tidak memiliki keluarga. Juga bukan berarti keluarga anda tidak lengkap. Keluarga seharusnya adalah hubungan harmonis antara anggotanya. Jika pasukannya lengkap tapi saling tusuk menusuk apa pantas disebut keluarga? Jadi tidak salahkan kalau saya bilang keluarga adalah urusan kualitas dan bukan kuantitas?
Saya Leonnie, wanita berkeluarga (bahagia) yang tidak percaya pada institusi pernikahan (dan aturan-aturan gombal buatan manusia yang mungkin tidak becus jadi anggota keluarga).
Lalu kami berdua berdiskusi tentang langkas selanjutnya. Menikah setelah atau sebelum kelahiran. Ya, kami waktu itu belum resmi menikah. Buat saya pribadi, persetan dengan institusi formal. Tapi kali ini urusannya berbeda. Kami menimbang baik buruknya. Jangan pikir kami memperhitungkan apa kata si A dan si B, apalagi si C. Yang kami pertimbangkan adalah baik - buruk bagi anak kami dan masa depannya. Pertimbangan logis mengatakan pernikahan akan melindungi dia di mata hukum dan penting bagi kami agar dia tidak cacat di mata hukum. Jadi kami menikah.
Pernikahan kami sudah 4 tahun yang lalu dan kami kini sudah memiliki 3 anak. Soal berkeluarga, kami salah satu yang beruntung. Walau bukan tanpa cobaan. Kedua belah pihak keluarga kami akur dan sangat mendukung. Saya dan suami juga begitu. Intinya kami berbahagia.
Kadang saya ditanya apa resepnya. Saya balik bertanya, "bagaimana cara kamu dan pasangan bertengkar?" Yang ditanya balik biasanya menjawab dengan segala macam metode bertengkar. Namun jarang sekali yang menjawab dengan mencirikan bagaimana saya dan Fajar melakukannya. Saya dan Fajar bertengkar dengan cara berdiskusi. Mendiskusikan perbedaan pendapat kami sambil makan di cafe dan menyusun strategi mengatasi permasalahan. Tidak ada piring di banting, suara meninggi apalagi kekerasan. Kami sangat saling menghargai satu sama lain untuk melakukan kekerdilan macam itu. Dan saat kami begitu berbeda hingga tak mampu berbicara, kami tidak memaksakan pembicaraan itu terjadi sampai kami siap.
Begitulah seharusnya sebuah pernikahan bagi saya. Hidup membangun masa depan dengan orang yang kita cintai dengan mengatasi perbedaan. Untuk itu tidak diperlukan pengesahan dari setan gombal atau malaikat manapun. Hanya diperlukan kematangan, kedewasaan, akal sehat.
Saya kasihan melihat seorang teman di kantor yang banting tulang pergi ke segala penjuru tempat mencari cara agar dia bisa hamil padahal tidak ada masalah dengan kesuburan mereka berdua. Alasannya karena dia sudah menikah sekian tahun dan akan semakin memalukan kalau belum punya anak sampai sekarang. Jadi dia menikah untuk punya anak? Buat saya itu terdengar sempit sekali. Dia tanya bagaimana saya bisa punya anak 3 orang dalam jarak beruntun macam gerbong kereta. Saya bilang, karena saya melakukan hubungan seksual dengan suami saya. Saya sarankan sama dia untuk melupakan segala metode aneh-aneh yang dia cari dan segera membangun hubungan emosional yang baik dengan sang suami, lalu habiskan waktu berduaan dengan mesra dan penuh keinginan untuk saling memberi dan membahagiakan. Kan seperti saya baca celoteh para seksiolog bahw sex yang baik adalah sex yang merelaksasi, yang memberi kepuasan bagi kedua belah pihak baik jasmani maupun rohani. Saya rasa itu bukan omong kosong.
Sungguh saya tidak menentang pernikahan, karena saya toh adalah wanita menikah. Apalagi soal anak. Saya sejak dulu menginginkan anak-anak dalam kehidupan saya. Yang saya ingin gugah adalah konsep kita dalam membangun keluarga. Kebahagiaan keluarga kita tidak terletak di sebuah kertas terbitan institusi manapun. Tidak juga dari pandangan kaum, sekte, partai, si anu dan si itu yang sibuk berceloteh menilai dan mengatur dari luar sana. Saya percaya bahwa kebahagian teraih saat kita berhenti berbohong pada diri kita sendiri. Pegang teguh prinsip kita dan perjuangkan dengan damai. Damai bukan artinya terus-terusan mengalah kok.
Dan saat pernikahan anda diisi oleh anda dan pasangan seorang, bukan berarti anda tidak memiliki keluarga. Juga bukan berarti keluarga anda tidak lengkap. Keluarga seharusnya adalah hubungan harmonis antara anggotanya. Jika pasukannya lengkap tapi saling tusuk menusuk apa pantas disebut keluarga? Jadi tidak salahkan kalau saya bilang keluarga adalah urusan kualitas dan bukan kuantitas?
Saya Leonnie, wanita berkeluarga (bahagia) yang tidak percaya pada institusi pernikahan (dan aturan-aturan gombal buatan manusia yang mungkin tidak becus jadi anggota keluarga).